Ya…judul ini benar-benar merepresentasikan perasaan saya saat ini. Bagaimana tidak? Setelah beberapa bulan terkahir ini saya berdiam diri dan menyaksikan carut-marut kehidupan social-politik di Jakarta kali ini saya tak tahan. Bukankah menulis adalah salah satu bentuk terapi…saya benar-benar butuh sarana untuk menyalurkannya. Katakanlah saya tidak punya hak untuk masalah dukung siapa di pilkada DKI toh KTP saya juga masih Jawa Timur. Tapi ini bukan tentang pilkada..ini bukan tentang politik..ataupun tentang mantan gubernur dan gubernur baru yang terpilih. Ini tentang kehidupan social, bernegara dan cara berpikir. Picture Source: Google.com Setelah beberapa peristiwa sedih yang saya alami maka kejadian ini menggenapkan kesedihan itu. Baiklah saya mulai saja..pada tanggal 12 Mei 2016 saya berangkat ke daerah Jakarta. Saya tinggal di daerah Depok, sehingga menuju Jakarta saya kerap memilih naik commuter line karena lebih cepat dan murah. Pagi ...
Pemikiran ini berawal dari sebuah film berjudul Rudy Habibie. Ya..saya tau betapa masyarakat mengagumi sosok habibie dan ainun baik di dalam film tersebut maupun di kehidupan nyata. Tetapi sepulangnya saya menonton film ini pikiran saya banyak menduga-duga dan tentu saja akhirnya dugaan itu saya diskusikan dengan salah satu sahabat saya. Film Rudy Habibie ini menceritakan tentang masa muda Habibie ketika sedang menuntut ilmu di German. Saya tidak perlu menceritakan terlalu banyak tentang film ini karena saya yakin hampir seluruh teman-teman saya menontonnya. Hal yang menarik yang saya diskusikan adalah gambaran lain kisah cinta Rudi Habibie sebelum bertemu Ainun. Saya percaya bahwa rejeki, jodoh, dan mati memang benar-benar kuasa Tuhan dan saya juga mengagumi idealisme dan kemampuanseorang Habibie hingga saat ini. Tetapi biarlah tulisan ini sifatnya argumentatif dan merupakan hasil diskusi dengan teman seatap saya. Diskusi kami diawali dengan pendapat saya bahwa jangan-jangan ...