Welcome 2016!!
Rupanya tahun 2016 dibuka dengan suatu kejadian luar biasa di Jakarta. Pada tanggal 14 Januari 2016 terjadi teror bom di Sarinah. Mungkin kalian sudah melihat dan membaca berita mengenai hal tersebut dimana-mana. Bahkan pihak Humas Polda Metro Jaya sudah mengeluarkan kronologi kejadian pada hari tersebut (mungkin bisa dibaca disini). Sasaran dari teror bom tersebut adalah Starbucks Cafe dan Pos Polisi. Korban meninggal akibat aksi terorisme ini berjumlah 7 orang. Sebelumnya saya akan mengingatkan bahwa tulisan saya agak-agak akademis hahahha. Sebab kali ini saya memutuskan untuk memberikan opini saya sendiri terkait kejadian ini.
Kegagalan Badan Intelijen
Kegagalan Badan Intelijen
Baiklah.. ini memang menjadi pertanyaan besar ketika suatu aksi terorisme terjadi di suatu negara. Tentu ingat kan bom Paris yang menghebohkan di tahun lalu, pertanyaan yang muncul juga "apakah badan intelijen Paris kecolongan?" menurut saya itu mungkin. Tetapi seorang teman saya mengatakan "Bisa saja intelijennya tau tapi tetap dibiarkan" ya..bisa jadi dia yang benar. Mungkin saja dengan menimbang berbagai kepentingan lain. Saya teringat dengan kasus Pearl Harbour yang salah satu dugaannya adalah pihak intelijen membiarkan hal tersebut untuk membakar semangat, membangun bonding yang kuat untuk melawan Jepang. Yaa..itu bisa saja..
Jawaban Sutiyoso sebagai seorang Kepala BIN tentu saja menurut saya kurang bijak. Jika memang kecolongan atau intelijen pada saat itu memang gagal, mengapa tidak dikatakan sejujurnya? Memang ini berat. Jika diperhatikan memang tidak ada yang pernah mengaku bahwa saat itu intelijen telah gagal. Padahal "Kegagalan Intelijen" dapat terjadi ketika terdapat ketidaksesuaian antara perkiraan dengan data informasi yang ditunjukkan. Tetapi Jervis juga menyatakan bahwa intelijen tidak memiliki sebuah bola kristal sehingga tidak perlu terheran-heran jika ternyata terdapat perkiraan yang meleset (Jervis, 2010).
Menurut Lim (2012) disebutkan bahwa kemungkinan kegagalan intelijen dapat disebabkan karena collection failure dimana intelijen tidak mampu mendapatkan informasi yang relevan dan tepat waktu. Selain itu dapat juga disebabkan karena analytical failure dimana intelijen gagal untuk menghubungkan berbagai informasi yang berbeda dalam kerangka berpikir intelijen. Terakhir adalah kegagalan communication failure dimana intelijen gagal dalam berkomunikasi di dalam badan itu sendiri ataupun dengan unit-unit intelijen lainnya(Lim, 2012).
Menurut Sutiyoso, walaupun belum pasti tetapi kemungkinan besar aksi di Sarinah kemarin berasal dari kelompok ISIS. Hal itu didukung dengan pernyataan ISIS yang mengklaim tindakan tersebut sesaat setelah terjadinya aksi tersebut. Namun penulis masih memilih untuk tidak percaya sepenuhnya, sebab masih banyak kejanggalan yang belum terpecahkan. Namun kali ini penulis akan membahas masalah intelijen. Sutiyoso juga menyatakan bahwa telah memperingatkan Polri bahwa arus balik dari Syria cukup besar dan pada akhir tahun 2015 ISIS sempat menyatakan bahwa selanjutnya Indonesia akan menjadi perhatian dunia.
Baiklah jika hal tersebut dianalisa dengan menggunakan 3 kategori kegagalan intelijen yang disebutkan oleh Lim maka mungkin saja badan intelijen kita mengalami kegagalan karena 3 hal tersebut. Gagal mengumpulan informasi yang relevan dan tepat waktu sehingga aksi Bom Sarinah ini dapat terjadi dan mengagetkan seluruh aparat yang berwenang. Bisa juga kegagalan analisis, dimana data arus balik dan ancaman tersebut tidak dapat dianalisa dan dipantau secara tepat aksi apa yang selanjutnya akan terjadi. Kemungkinan juga terjadi kegagalan komuniakasi baik diantara unit dalam badan itu sendiri ataupun lintas institusi, seperti yang kita tau bahwa masalah komunikasi antar institusi ini di Indonesia tidak selalu harmonis. Tapi tidak apalah unuk mengakui bahwa intelijen kita telah gagal dalam aksi kemaren, namun hal yang paling penting adalah bagaimana selanjutnya deteksi awal dilakukan sehingga aksi-aksi seperti itu dapat dihindarkan.
Selanjutnya Sutiyoso menanggapi kegagalan BIN ini justru dengan mengkritisi ruang gerak BIN yang dianggap sempit. Sutiyoso meminta agar BIN memiliki kewenangan untuk menangkap dan menahan (bisa dilihat disini). Oh..come on..ini yang menurut saya agak memalukan. Lihat berapa banyak unit khusus terorisme yang terbentuk dan berapa banyak kewenangan yang saling tumpang tindih juga saling bersaing. Inilah yang selanjutnya menyebabkan unit-unit ini justru berkompetisi untuk menunjukkan dirinya yang terbaik padahal yang dibutuhkan adalah koordinasi. Kita sudah Badan Nasional Penanggulangan Terorism, belum lagi ada Densus 88, ada Kopassus. Selain itu juga Polri memiliki kewenangan dan kewajiban untuk mencegah dan menanggulangi kegiatan terorisme. Saya rasa BIN tidak memerlukan kewenangan untuk menangkap dan menahan karena telah ada badan lain yang memiliki kewenangan tersebut. Silahkan saja perbaiki komunikasi dan buat strategi bersama dalam menangani masalah terorisme ini.
Counter-terrorism ala Netizen
Melihat tindakan yang diambil Polri dan TNI kemaren memang sungguh luar biasa. Hal ini memang harus diapresiasi bahwa aparat hanya membutuhkan 3 jam saja untuk menangani aksi tersebut. Sungguh ini luar biasa. Akan tetapi ada satu hal yang menjadi perhatian saya yaitu reaksi masyarakat dunia maya atau yang kerap disebut dengan Netizen ini bersikap.
Jika kita ingat Aksi Terorism Paris, Netizen ini bersikap dengan turut berduka dan memasang bendera atau simbol-simbol Paris di dunia maya. Tetapi lihatlah Bom Sarinah kemarin, setelah semua orang sudah dipastikan aman bermunculan hashtag atau tagar #kamitidaktakut lalu bermunculan juga perhatian pada polisi-polisi ganteng dan keren saat melakukan tugasnya. Hal ini terlihat dengan hastag atau tagar #polisiganteng #kaminaksir. Ini menarik.
Sebelumnya mari kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan aksi terorisme. Menurut Walter (2003) dalam naskah yang diterbitkan UNODC menyebutkan:
"..terrorism requires an objective and a subjective element. The objective element is a criminal offence of a certain gravity, mainly the use of physical violence against perseons. The possible offences have increasingly been stretched to include the destruction or serious damage public (or sometimes even private) property, including infrastructure facilities. The subjective element requires, alternatively, the intention to coerce (in different degrees according to the different definition) a government or an international organisation. Where the intention to create fear within the population is sufficient, some definitions require political, religious, or other ideological motives..
(Walter, 2003)"
Sedangkan pemahaman terorisme di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tindakan yang termasuk Tindak Pidana Terorisme dijelaskan pada Bab III pasal 6 dan 7 yaitu;
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Aksi teror bom ini terjadi di daerah yang dinyatakan sebagai Ring 2. Ring 2 adalah daerah yang paling dekat dengan daerah penting (misalnya istana negara) sehingga daerah ini juga dianggap sebagai daerah yang cukup penting. Kejadian peledakkan itu terjadi di Ring 2, apakah badan intelijen kita gagal mengantisipasi aksi tersebut? Menjawab hal ini kepala BIN Sutiyoso menjawab "Terserah kamu lah mau ngommong apa" (Lebih lengkapnya dapat dibaca disini atau disini). Oh..come on..inikah tanggapan seorang pemimpin badan intelijen kita? ah..saya sedikit kecewa sejujurnya.
Berdasarkan kedua definisi tersebut yang saya tekankan adalah tujuan dilakukannya terorisme salah satunya adalah untuk menciptakan teror atau fear of crime (ketakutan terhadap kejahatan). Selanjutnya adalah memahami apa yang disebut dengan counter terrorism. Selama ini kata tersebut dalam mind set kita mengacu kepada penanganan aksi terorisme secara hard approach. Akan tetapi menurut Pratt (2010) menyebutkan bahwa;
"Counter-terrorism consists of actions or strategies aimed at preventing terrorism from escalating, controlling the damage from terrorist attacks that do occur, and ultimately seeking to eradicate terrorism in a given context (Pratt, 2010)"
Berdasarkan pernyatan diatas diketahui bahwa tindakan counter terrorism terdiri dari tindakan atau strategi yang bertujuan untuk mencegah eskalasi tindakan terorisme, mengendalikan kerusakan akibat aksi terorisme, dan berusaha melakukan pemberantasan terorisme dalam konteks tertentu.
Jock Young pada tahun 1971 telah mengusung sebuah konsep yang disebut sebagai amplifier of deviance. Hal ini berhubungan dengan kepanikan moral yang diciptakan oleh suatu penyimpangan atau kejahatan. Konsep ini mengatakan bahwa terdapat hubungan antara media, agen kontrol sosial dan opini publik yang bisa mengarah kepada kepanikan moral. Media memiliki kemampuan untuk membangun opini masyarakat dari suatu krisis tertentu sehingga dapat menciptakan keadaan yang anomaly dimana batasan antara baik dan buruk menjadi memudar. Opini masyarakat ini juga akhirnya akan membentuk kesepakatan moral yang ada bisa menjadi semakin kuat ataupun bisa saja menjadi memudar, dan dalam hal ini media memiliki peranan yang penting. Karena kemampuannya, maka media bisa mengadopsi konsep kepanikan moral ke dalam kebijakan editorialnya, dengan tujuan akhir berusaha menunjukkan bagaimana masyarakat memandang dirinya sendiri, dan jalan keluar seperti apa yang diperlukan jika kepanikan moral mulai mengancam ketenangan dalam kehidupan bersama.
Kembali pada respon netizen dengan tagar #kamitidaktakut #polisiganteng dan #kaminaksir ini sebagai bentuk dari upaya masyarakat dalam menghadapi kepanikan moral yang sebelumnya terjadi akibat aksi Bom Sarinah tersebut. Tentu saja sebelum tagar tersebut dimulai, sempat beberapa isu bermunculan bahwa di tanah abang, cikini, dan beberapa daerah lain di Jakarta juga terjadi peledakan Bom. Hal tersebut sungguh memunculkan kepanikan yang luar biasa bagi masyarakat, termasuk penulis sendiri. Akan tetepi setelah aparat penegak hukum berhasil melumpuhkan para teroris maka dimulailah tagar dan kicauan di dunia maya.
Masih ingat tentunya kita dengan Paris kala berduka saat itu, tetapi kali ini netizen Indonesia memilih untuk tidak berduka tetapi tegak berdiri dan bahkan menantang para teroris tersebut. Saya pribadi berpendapat bahwa tindakan ini termasuk dalam counter terrorism. Perlu diingat bahwa salah satu tujuan counter terrorism adalah mengurangi dampak negatif dari aksi terorisme itu sendiri. Tagar-tagar tersebut telah membalikkan keadaan masyarakat yang semula panik menjadi tertawa dan menjadi lebih tenang dalam menjalani hari-hari selanjutnya.
Jika kita ingat bahwa tujuan dari aksi terorisme adalah menciptakan teror, kecemasan di dalam masyarakat tapi rupanya kombinasi aparat penegak hukum yang cepat menangani aksi tersebut dan netizen yang membentuk opini publik untuk tetap berani menjadi amunisi bagi tindakan counter terrorism di Indonesia.
Sejauh penelusuran saya pada buku dan jurnal international tentang tindakan counter terrorism yang terkait dengan pemanfaatan media sosial dalam upaya membangun opini publik khususnya dalam memberikan rasa aman terhadap aksi terrorisme masih sangat susah ditemukan. Oleh karena itu aksi counter terrorism jenis ini saya namakan counter terrorism ala netizen.
Apapun itu, kali ini media sosial telah membantu Indonesia agar tidak jatuh pada ketakutan dan kepanikan massal seperti aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sebelumnya. Kali ini tidak hanya aparat polisi kita yang patut diapresiasi tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan juga layak mendapatkan apresiasi.
Daftar Pustaka
Braithwaite, A. (2013). The Logic of Public Fear in Terrorism and Counter-terrorism. J Police Crim Psych , 95-101.
Jervis, R. (2010). Why Intelligence Fails: Lessons from the Iranian Revolution and Iraq War. Intelligence in Public Literature, 238.
Lim, C. S. (2012). Did the Terrorist Attacks of 11 September 2001 Confirm the Thesis that “Intelligence Failures are Inevitable”? Journal of the singapore armed forces Vol.38 No.2, 24-33.
Pratt, S. (2010, Dec 21). What is the difference between counter-insurgency and counter-terrorism? Retrieved from E-International Relation Student: http://www.e-ir.info/2010/12/21/what-is-the-difference-between-counter-insurgency-and-counter-terrorism/
Young, Jock. "The role of the police as amplifiers of deviancy, negotiators of reality and translators of fantasy." Images of Deviance Penguin Harmondsworth (1971).
Braithwaite, A. (2013). The Logic of Public Fear in Terrorism and Counter-terrorism. J Police Crim Psych , 95-101.
Jervis, R. (2010). Why Intelligence Fails: Lessons from the Iranian Revolution and Iraq War. Intelligence in Public Literature, 238.
Lim, C. S. (2012). Did the Terrorist Attacks of 11 September 2001 Confirm the Thesis that “Intelligence Failures are Inevitable”? Journal of the singapore armed forces Vol.38 No.2, 24-33.
Pratt, S. (2010, Dec 21). What is the difference between counter-insurgency and counter-terrorism? Retrieved from E-International Relation Student: http://www.e-ir.info/2010/12/21/what-is-the-difference-between-counter-insurgency-and-counter-terrorism/
Young, Jock. "The role of the police as amplifiers of deviancy, negotiators of reality and translators of fantasy." Images of Deviance Penguin Harmondsworth (1971).
yg penting pelaku teror dihukum mati. itu saja. perang memang harus ada dan itu bukan masalah asalkan berada di barisan yg benar. deradikalisasi tetap diteruskan baik melalui pendekatan moral maupun militer.
BalasHapusmengenai mengapa orang berbuat teror penyebabnya ada yg bersifat pribadi maupun karena faktor lingkungan. faktor lingkungan yaitu pendorong dari luar seperti adanya perlakuan tidak adil yg menghilangkan rasa percaya. lalu faktor pribadi adalah karena adanya pemahaman yg salah mengenai suatu sistem moral tertentu ...
hi heri, even sy nggak pernah setuju dengan diterapkannya hukuman mati tp sudahlah qt kesampingkan masalah itu. Pada poin ini kita sepakat untuk tidak sepakat. Ok
Hapusya benar faktor-faktor penyebab yang kamu bilang, jangan lupa masalah ekonomi juga menjadi faktor yg cukup penting untuk diperhitungkan.