Ini cerita tentang mimpi. Walau tak seperti Laskar Pelangi, tetap saja ini tentang sebuah mimpi yang tentu saja tak boleh dipaksa Mati.
Cerita ini berawal dari suatu obrolan iseng sekelompok orang yang ingin mencoba membantu melakukan pemerataan pendidikan di seluruh negeri ini. Akhirnya proyek sosial iseng itu pun kami kerjakan dengan sangat serius. Kami pun menjemput 5 orang anak yang tinggal di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Tepatnya di Desa Wana Bakti dan Desa Mungguk Gelombang, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Cobalah kau cari di Peta kawan, mungkin hanya akan kau temukan Sintang atau Ketungau Tengah saja. Kalian pasti tau Pontianak dan dari sana masih membutuhkan 2 hari lagi sampai ke desa mereka. Kedua desa tersebut seperti tidak pernah tersentuh. Bayangkan 69 tahun Indonesia merdeka tapi disana listrik saja tak ada apalagi sinyal telepon ataupun jalan aspal. Mereka menggunakan Genset ataupun Aki untuk memenuhi kebutuhan listriknya, mereka harus berlarian ke atas bukit untuk menangkap sinyal barang 1 baris saja, dan mereka harus membangun jembatannya sendiri dengan menggunakan pohon-pohon yang ada.
Akhirnya dari 5 orang tersebut kami bawa ke Jakarta untuk menambahkan bekal pengetahuan mereka. Target kami jelas, mereka diterima di perguruan tinggi dengan biaya yang murah. Tidak mudah memang ini, mengingat begitu berbedanya pendidikan di perbatasan dengan disini. Pertama kali mereka sampai, kami lakukan tes awal untuk mngetahui sejauh mana pengetahuan mereka. Tiba-tiba ada salah seorang yang bertanya "kak, penjumlahan dan perkalian duluan mana?" kami tercengang. Mereka adalah siswa-siswi kelas 3 SMA yang baru saja menghadapi Ujian Nasional. Kami sadar banyak yang harus dikerjakan.
Sejak saat itu dengan dibantu banyak sekali Volunteer dan Kakak Asuh yang peduli dengan program ini kami terus berjuang. Mereka belajar setiap hari dalam sepekan kecuali hari minggu. Akhirnya tahun kemarin kami berhasil mengantarkan 1 orang anak diterima di Universitas Jendral Soedirman (UNSOED), 1 orang diterima di salah satu IKIP Swasta di Malang dengan biaya hanya 1/4 biaya normal, 1 orang lagi diterima di suatu sekolah khusus guru agama di Jakarta dengan biaya hanya 250 ribu rupiah setiap bulannya sudah termasuk biaya pendidikan, asrama, dan makan sehari-hari. Sedangkan 1 orang lagi kami pulangkan karena alasan keluarga. Saat ini tersisa satu orang yang sedang berjuang untuk meraih mimpinya. Kemaren dia diterima di Universitas Tirtayasa (UNTIRTA) sungguh kami bahagia. Tapi ternyata sayangnya dia tidak lolos seleksi Bidik Misi dengan alasan kedua orang tuanya masih lengkap dan berasal bukan dari pulau Jawa.
Saya sungguh tidak paham akan kebijakan tersebut. Padahal kemampuan kedua orang tuan anak ini hanya memiliki penghasilan 300-500 ribu setiap bulannya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai buruh sadap getah karet di kebun orang. Selain itu alasan ditolaknya Bidik Misi adalah terbatasnya kuota untuk anak-anak luar Jawa yang hanya 20% saja.
Kami sungguh bingung, segala cara telah kami tempuh mulai dari bertemu pihak BEM dan kemudian bertemu dengan pihak Rektorat tapi benar-benar jalan buntu. Untuk beasiswa, pihak universitas bisa memberikannya asalkan anak ini melakukan daftar ulang dan menjadi mahasiswa terlebih dahulu dari kampus tersebut. Masalahnya untuk menjadi mahasiswa disana diharuskan melakukan daftar ulang dengan membayarkan uang sebesar 3 Juta rupiah terakhir pada tanggal 20 Agustus 2014 ini. Sudah dibicarakan berulang kali untuk meminta penangguhan ataupun pencicilan, tetapi tidak ada. Harus 3 Juta pada tanggal 20 Agustus 2014.
Kami tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, uang sebanyak itu tentu saja begitu berat bagi kami yang mayoritas juga mahasiswa. Kami tidak mau mematikan mimpi seorang anak, tegakah kita? Pernah saya ingat perkataannya "mau jadi gurulah kak, trus pulang ke kampung biar pintar-pintar mereka itu" itulah mimpinya. Sederhana. Menjadi guru dan kemudian kembali ke kampung dan berusaha mencerdaskan anak-anak di kampungnya. Bisa saja kita berseru-seru Merdeka!! bisa saja kita berseru-seru tentang Nasionalisme. Tetapi telah adilkah kita? ketika seorang anak dari ujung negeri ini yang tidak pernah merasakan perbedaan akan kata Merdeka harus dimatikan mimpinya justru di negeri yang hingar-bingar dan melimpah ruah, Jakarta. Harapan kami sungguh sangat besar ada pihak-pihak yang dapat membantu anak ini untuk melanjutkan langkahnya meraih mimpi. Kita tidak pernah tahu akan menjadi apakah dia nanti, bisa saja dialah yang akan membawa derahnya menjadi lebih maju dan lebih baik lagi. Oleh karena itu kami sangat membuka tangan kami bagi siapapun yang memiliki niat baik sekecil apapun juga untuk membantu adek kita ini. Silahkan bisa menghubungi kami di twitter @chyndshine @rainiku dan @thepoohlova ataupun bisa dengan sms ataupun whats app di nomer 085731233549. Semoga kita bisa saling membantu dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia karena setiap anak Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan di negerinya sendiri. Dibawah ini saya lampirkan foto-foto keadaan desa mereka dan bayankanlah sendiri kawan...
|
Swadaya masyarkat membangun jembatan yang roboh. Tanpa jembatan itu maka tidak ada satu kendaraan pun yang bisa sampai ke Merakai sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Wana Bakti dan Mungguk Gelombang |
|
Transportasi yang harus digunakan dari Merakai menuju HTI sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil Double Gardan ke Desa Wana Bakti dan Mungguk Gelombang |
|
Kondisi salah satu runang kelas di Sekolah Dasar yang terletak di Desa Wana Bakti |
|
Kondisi ruang kelas lainnya di Sekolah Dasar yang terletak di Desa Wana Bakti |
|
Kondisi rumah mayoritas masyarakat di Desa Wana Bakti dan Mungguk Gelombang |
|
|
Apakah kita tega mematikan mimpi anak-anak ini ketika mereka beranjak dewasa? |
Komentar
Posting Komentar