Entah sebuah kebahagiaan atau sebuah ironi yang menyedihkan. Kali itu saya sadar melihat lautan manusia di stadion Gelora Bung Karno. Dengan semua pernak-pernik merah putih, rakyat Indonesia berdiri tegak membela negaranya. Tak peduli dengan harga tiket ratusan ribu, tak peduli harus menjemur diri waktu mengantri, tak peduli ada pekerjaan esok pagi, Kami semua tetap berdiri dengan merah putih di dada kami.
Kami tak pernah lagi ikut ceremony di senin pagi, kami bukan pengibar bendera di hari merdeka, kami bukan pemimpin upacara di hari kebangkitan nasional. Tapi carilah kami di semua pertandingan Indonesia, Suara kami tak pernah berhenti menggema meneriakkan satu kata “INDONESIA”.
Kami mungkin dicela, kami dianggap tak beradab, melakukan bakar-bakar dan merusak. Sebenarnya kami hanya ingin katakan “ Kami Kecewa”. Dengan segala pengorbanan yang kami lakukan, kami tak rela pulang dengan kekalahan. Kekalahan yang harus diceritakan pada anak kami bahwa tim kebanggaannya kalah. Kami tak ingin membuat anak kami sedih dan kehilangan kebanggaannya pada Indonesia.
Nasionalisme kami memang bukan seperti dalam pelajaran Kewarganegaraan, Nasionalisme kami bukan mendewakan bendera dan garuda. Nasionalisme kami tak terucapkan, karena nasionalisme kami hanya berdiri pada sebuah bangun ruang yang dilapisi kulit. Nasionalisme kami adalah nasionalisme bola.
Tapi percayalah selama kami masih memiliki nasionalisme dalam dada kami baik dalam bentuk apapun, Indonesia tak akan mudah menyerah pada dunia.
nasionalisme romantik sin
BalasHapus